EDU ARTICLE: Mengulik Negeri Adidaya Amerika Serikat dan Kebudayaannya Berdasarkan Teori Hofstede

Mengulik Negeri Adidaya Amerika Serikat dan Kebudayaannya

Berdasarkan Teori Hofstede

Siapa yang tidak mengenal negara Amerika Serikat? Negara adidaya dengan jumlah penduduk terbanyak ke-3 di dunia ini tentu sudah termahsyur namanya dimana-mana.  Dengan banyaknya masyarakat di dalamnya, tentu makin kompleks pula kondisi sosial yang ada di negara tersebut. Termasuk dalam hal kebudayaan. Beragamnya individu masyarakat yang ada di negara ini tentu mempengaruhi cara berkomunikasi dan bersosialisasi di dalamnya juga. Tingkah laku dan perilaku sekelompok individu dalam suatu wilayah atau negara inilah kemudian yang di sebut dengan kebudayaan nasional. Oleh karena itu, setiap negara tentu akan memiliki budaya dengan ciri khas wilayahnya masing-masing, yang kemudian  menarik untuk kita pelajari.

Sebelumnya, budaya sendiri merupakan cara hidup  yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, dan biasanya cenderung bersifat diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, meskipun juga termasuk sesuatu yang bisa dipelajari sebenarnya. Oleh sebab itu, berbeda orang atau kelompok di dalam suatu wilayah, maka akan berbeda pula kebudayaan di tempat lainnya.

Setiap wilayah atau negara memiliki kebudayaan yang berbeda karena diisi oleh masyarakat yang berbeda-beda pula. Termasuk di Amerika Serikat .Untuk mempelajari hal tersebut, Hofstede, seorang sosiologis dari Belanda telah mengembangkan suatu metode untuk mempelajari dan mengidentifikasi dimensi kultur yang ada di setiap negara di dunia.

Berdasarkan teori Hofstede, dimensi budaya dapat dijelaskan menjadi enam macam. Yaitu ada Power Distance (Jarak Kekuasaan), Uncertainty Avoidance (Ketakutan akan Ketidakpastian), Individualitas vs Kolektivitas (Tingkat Ketergantungan), Maskulinitas vs Feminitas, Long Term vs Short Term Orientation (Orientasi Jangka Panjang), serta Indulgence vs Restraint (Tingkat kesenangan).

Lewat enam dimensi budaya yang disampaikan oleh Hofstede ini, kita bisa mengidentifikasi dan kemudian mengetahui bagaimana kebudayaan di suatu negara atau wilayah itu terjadi. Termasuk untuk mengidentifikasi kebudayaan di negara Amerika Serikat yang akan kita bahas berikut ini.

  1. Power Distance

Power distance atau jarak kekuasaan ialah sifat kultur nasional yang menjelaskan tingkatan bagaimana masyarakat dalam suatu institusi atau organisasi menerima kekuatan yang tidak sama.

Di dimensi ini, menjelaskan bagaimana kedudukan individu yang mempunyai kekuatan atau kekuasan rendah  (less powerfull), menerima dan memperkirakan distribusi kekuasaan yang tidak merata. Atau singkatnya, menjelaskan mengenai tentang ketidak setaraan suatu individu dalam suatu komunitas atau masyarakat. Power distance terjadi  sebab adanya  perbedaan dalam banyak hal di suatu komunitas. Seperti status sosial, gender, ras, pendidikan, kelahiran, umur, latar belakang, dan pencapaian. 

Power distance sendiri dibedakan menjadi dua. Ada high power distance dan low power distance. Di negara dengan power distance yang tinggi, mereka berusaha untuk memiliki persamaan distribusi kekuasaan dan perlu meminta pengakuan atas ketidaksetaraan kekuasaan yang dimilikinya. Sedangkan di negara dengan power distance yang rendah, tatanan hirarkis dalam masyarakatnya menganggap bahwa setiap orang memiliki tempat yang sama atau setara, sehingga tidak memerlukan justifikasi lebih lanjut.

Di negara Amerika Serikat sendiri, berdasarkan skema indeks model kebudayaan global yang dibuat oleh Hostede, Amerika Serikat termasuk ke dalam negara yang memiliki kebudayaan cenderung mengarah ke low power distance. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tingkat jarak kekuasaan yang rendah di negara Amerika Serikat.

Jarak kekuasaan yang rendah di Amerika ini menunjukkan bahwa masyarakat di Amerika menerima hubungan kekuasaan yang demokratis atau dibagikan secara merata. Orang-orang di sana berhubungan satu sama lain dengan fleksibel dan tidak terikat kedudukan atau posisi folmalnya. Hal ini bisa dilihat seperti dalam keseharian antara bos dan karyawan di kantor-kantor Amerika Serikat pada umumnya. Antara bos dan karyawan tidak terlihat perbedaan kasta yang berarti. Mereka cenderung bersifat berbaur dan menyukai kontribusi secara bersama-sama dalam pengambilan keputusan. Atasan bersifat terbuka pada bawahannya, dan sebaliknya bawahan pun berharap konsultasi dengan atasannya.

Hal inilah kemudian yang menjadi salah satu alasan Amerika menjadi negara besar dan memiliki kekuatan yang adidaya di antara negara lain di dunia. Karena budaya di sana masyarakatnya cenderung lebih melihat seseorang berdasarkan apa yang mereka masing-masing capai,  bukan latar belakangnya. Sehingga meminimalisir perilaku semena-mena dan semua orang bisa menyampaikan pendapatnya.

Berbeda dengan negara lain yang memiliki tingkat jarak kekuasaan tinggi. Negara yang memiliki high power distance cenderung menerima hubungan kekuasaan yang autokratik dan patrenalistik. Seseorang akan mengakui kekuasaan orang lain hanya berdasarkan latar belakang atau posisi yang disandangnya dalam suatu hirarki sosial, dan bukannya pencapaiannya. Sehingga posisi antara yang berkuasa dan kurang berkuasa sangat terlihat jelas. Contohnya sebagaimana yang terjadi di negara seperti Indonesia dan India. Perbedaan status sosial individu terlihat dengan jelas dan kaku.

  1. Uncertainty Avoidance

Uncertainty Avoidance atau penghindaran ketidakpastian ialah sejauh mana anggota dalam masyarakat merasa tidak nyaman akan ketidakpastian atau ambiguitas (Hofstede, 2001). Dalam dimensi ini, menjelaskan bagaimana suatu individu dalam suatu negara cenderung memilih situasi yang terstruktur dan tidak terstruktur.

Amerika Serikat sendiri termasuk ke dalam negara yang memiliki uncertainty avoidance yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di dalamnya termasuk memiliki toleransi terhadap sesuatu yang baru. Mereka menyukai inovasi dan ide-ide baru yang berbeda. Selain itu, uncertainty avoidance yang rendah di Amerika ini juga menunjukkan individu di dalamnya cenderung lebih termotivasi oleh harga diri dan prestasi. Hal ini juga yang membuat banyak kisah sukses/perubahan besar terjadi di Amerika. Karena budaya di sana sendiri terbuka untuk mengeksplorasi hal baru dan tidak takut akan perubahan.

Sebaliknya, negara dengan uncertainty avoidance yang individunya cenderung memiliki ketakutan pada sesuatu yang baru/berbeda. Mereka cenderung tidak suka melakukan inovasi karena takut akan sesuatu yang belum mereka ketahui. Contohnya seperti apa yang terjadi di negara Jepang dan Jerman.

  1. Individualitas vs Kolektivitas

Individualisme ialah sifat kultur nasional yang mendiskripsikan bagaimana seseorang lebih suka bertindak dan mementingkan kepentingan individunya/perseorangan daripada kelompok. Dalam individualisme, hubungan antara individu dengan individu lain tidak terlalu mengikat dan longgar. Sedangkan kolektivitas ialah sifat kultur nasional yang menunjukkan kerangka sosial kuat dimana tiap individu mengaharapkan setiap orang dalam kelompok mereka untuk saling menjaga dan melindungi.

Dalam dimensi ini, sudah umum kita ketahui bahwa Amerika Serikat termasuk ke dalam negara yang memiliki tingkat individualisme yang tinggi. Orang-orang di sana cenderung akan bekerja keras untuk mencapai jabatan yang tinggi dan tidak ragu untuk bersaing demi memperebutkan sesuatu tanpa perlu memikirkan orang lain. Orang-orang di Amerika Serikat mempunyai kepercayaan diri yang sangat tinggi terhadap dirinya sendiri.

  1. Maskulinitas vs Femininitas

Maskulinitas dan femininitas adalah dimensi budaya yang berkaitan dengan nilai perbedaan gender dalam masyarakat. Namun, maksud maskulinitas di sini bukanlah berarti laki-laki, dan femininitas juga bukan berarti perempuan. Maskulinitas yang dimaksud ialah nilai-nilai yang dominan biasanya terdapat dalam sifat laki-laki, yakni seperti ketegasan, ambisi, suka bersaing, kompetitif, dsb. Negara yang menganut maskulinitas lebih mengutamakan kesuksesan, uang, dan harta benda dalam hidup individunya. Sedangkan femininitas menunjukkan sifat yang cenderung ada dalam perempuan, yaitu seperti menghargai sesama, simpatik, kerjasama, dan lebih mengutamakan kualitas hidup dan keselarasan dalam hidupnya.

Negara Amerika Serikat sendiri termasuk dalam negara yang memiliki nilai maskulinitas tinggi. Hal ini sesuai dengan faham kapitalisme Amerika yang menganut nilai-nilai materialisme. Di amerika serikat, tiap individunya didorong untuk berkompetisi dan selalu menunjukkan keberhasilan. Self reward didapatkan melalui pengakuan individu, promosi,bonus, dan sebagainya. Namun sebaliknya, dengan berarti memiliki nilai feminintas yang rendah, sifat saling menjaga dan kepedulian terhadap sesama di Amerika Serikat dapat dikatakan cukup rendah dan kurang.

  1. Long Term vs Short Term Orientation

Orientasi jangka panjang dan orientasi jangka pendek menjelaskan bagaimana suatu masyarakat memiliki ketaatan jangka panjang terhadap nilai-nilai tradisional yang ada. Pada masyarakat dengan orientasi jangka panjang, mereka akan melihat ke masa depan. Masyarakat dengan orientasi jangka panjang memiliki orientasi pada adaptasi, penghargaan, ketekunan, dan menghargai penghematan. Sedangkan pada masyarakat yang memiliki orientasi jangka pendek atau normatif, mereka cenderung memandang perubahan sosial dengan curiga. Mereka lebih memilih untuk mempertahankan tradisi dan norma yang sudah ada.

Di Amerika Serikat, sifat pragmatis atau orientasi jangka panjang lebih dominan. Masyarakatnya bersifat fleksibel dengan keadaan yang ada di masa depan dan ikut beradaptasi. Pikiran seperti inilah kemudian yang membuat individu di Amerika juga cenderung gemar untuk menabung dan berinvestasi, sehingga tidak heran pula negara ini memiliki pertumbuhan ekonomi yang cepat karena ketekunan dan sifat orientasi jangka panjangnya.

  1. Indulgence vs Restraint

Indulgence dan restaint adalah dimensi yang berhubungan dengan tingkat kesenangan. Dimensi ini melihat bagaimana suatu individu mengontrol keinginan mereka dilihat dari nilai yang didapatkannya selama hidup.

Indulgence atau kesenangan merujuk pada lingkungan sosial yang mengijinkan gratifikasi sebagai nafsu alami manusia. Setiap individu dianggap bebas untuk bertindak sesuai apa yang dia suka. Sedangkan pada restaint atau pengekangan, gratifikasi dianggap sebagai suatu norma yang tegas. Individu diikat oleh norma sosial yang ada di lingkungannya sehingga cenderung susah untuk bergerak bebas. 

Pada Amerika Serikat, tingkat kesenangan cenderung sangat tinggi pada kebebasan. Masyarakat yang ada di Amerika sangat mudah untuk mengontrol dan bebas bertindak sesuai dirinya sendiri. berbeda dengan negara yang memiliki sifat restaint yang lebih tinggi. Kontrol yang kuat sangat terasa dan membatasi keinginan. Contohnya seperti budaya minum minuman keras. Di Amerika, minum minuman keras apalagi saat selepas kerja tidak akan ada yang melarang. Karena juga dianggap bisa membantu individu tersebut dalam megurangi stressnya. Sedangkan di Indonesia, negara yang memiliki restaint yang lebih tinggi, budaya minum seperti itu sangat ditentang keras. Karena dianggap menyalahi aturan yang ada di lingkungannya dan memiliki kontrol perilaku yang ketat pula. Sehingga meskipun suatu individu itu menyukai sesuatu, belum tentu ia akan diperbolehkan untuk melakukannya karena melihat nilai-nilai yang ada disekitarnya pula dahulu. Sedangkan di negara dengan indulgence yang tinggi seperti Amerika, kontrol relatif lemah dan bebas.

Komentar