STUDI KASUS: Manajemen Krisis dan Citra Kepolisian Terhadap Kasus Korban Begal yang Jadi Tersangka Pembunuhan di lombok

 Manajemen Krisis dan Citra Kepolisian Terhadap Kasus Korban Begal yang Jadi Tersangka Pembunuhan di lombok


Kasus:

    Belakangan ini berita mengenai korban begal berinisial S di wilayah lombok tengah menjadi kasus sorotan masyarakat. Hal ini terjadi setelah S yang merupakan korban dari aksi kejahatan begal ditetapkan menjadi tersangka oleh Polres Lombok Tengah karena melakukan pembunuhan terhadap pelaku begal yang akan mencelakai dirinya sendiri. Isu ini kemudian menjadi perhatian banyak masyarakat, terlebih setelah kasus ini viral dan naik di sosial media. Masyarakat menyayangkan perlakuan pada korban insial S yang ditetapkan menjadi tersangka oleh pihak polisi. Akibatnya, banyak orang geram pada keputusan Polres Lombok Tengah. Tidak hanya itu, adanya kasus ini bahkan menurunkan citra bagi polisi itu sendiri secara luas. Hal tersebut terlihat dari banyaknya tanggapan masyarakat di sosial media yang menyatakan sulit percaya pada polisi lagi.

Analisis Manajemen Krisis Humas Kepolisian:

    Sebelumnya, bagi suatu instansi tidak ada yang bisa tahu kapan krisis akan melandanya. Begitu juga dengan Kepolisian Sektor Lombok Tengah yang sedang ramai di bahas saat ini. Keputusan yang ditetapkan oleh Polres Lombok Tengah terhadap kasus korban begal menjadi boomerang besar bagi instansi mereka sendiri. Penetapan korban begal menjadi tersangka pembunuhan menuai banyak kritik dari masyarakat luas yang akhirnya mengundang kecaman. Baik di media massa, media online, bahkan sosial media banyak yang mempertanyakan keputusan dari pihak kepolisian tersebut. Banyak kecaman datang di media sosial bahkan aksi langsung mendatangi kantor kepolisian setempat dari masyarakat yang tidak setuju. Hal ini kemudian tentu menjadi krisis besar terhadap instansi kepolisian Lombok Tengah bahkan kepolisian Indonesia secara umum yang harus segera diselesaikan.

Untuk menangani krisis tersebut perlu manajemen krisis yang baik dari suatu instansi, terutama dari pihak kehumasan. Karena humas adalah perpanjangan tangan dari instansi itu sendiri. Humas adalah gerbang atau penyambung antara suatu instansi terhadap pihak-pihak eksternalnya. Mengaca dari kasus di atas, tentu pihak kepolisian juga memerlukan tindakan manajemen humas yang baik dan cepat. Karena kasus ini bahkan tidak hanya berpotensi menurunkan citra kepolisian Lombok Tengah itu sendiri. namun bahkan bisa menurunkan citra polisi secara umum atau keseluruhan di mata masyarakat.

    Krisis bisa membuat citra bahkan kredibilitas suatu lembaga turun di mata publik. Oleh karena itu perlu pemanfaatan sumber daya agar strategi penanganan krisis bisa segera dilakukan sehingga dampak buruk bisa segera diminimalisir. Dalam kasus ini, kepolisian terbilang sudah melakukan langkah manajemen krisis yang baik. Hal ini tebukti dengan langkah penanganan mereka yang sudah cukup baik. Pertama, untuk menangani krisis dengan segera kasus korban S yang awalnya ditangani oleh Kepolisian Sektor Lombok segera diambil alih kasusnya oleh Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) sendiri. hal ini ditujukan untuk penanganan yang lebih cepat serta menunjukkan pada publik akan keseriusan pihak kepolisian dalam menangani kasus tersebut.

    Kemudian dalam hal menyelesaikan perkara, kepolisian juga telah melakukan langkah yang tepat. Yakni dimulai dengan strategi menyampaikan dan menegaskan kebenaran terlebih dahulu sesuai dengan kehendak publik. Hal ini terlihat sebagiamana pernyataan yang dikeluarkan oleh kepala Divisi Humas Polri NTB, Irjen Dedi Prasetyo dalam suatu sesi wawancara*. Dedi menyampaikan bahwa, “Peristiwa yang dilakukan Amaq Sinta merupakan pembelaan diri sebagaimana pasal 49 Ayat (1) KUHP soal pembelaan terpaksa.” Oleh karena itu, kepolisian akan mengedepankan asas proporsional, legalitas, akunbilitas dan nesisitas tambahnya. Tidak hanya di situ, selain menegaskan kebenaran yang tepat, penanganan krisis yang dilakukan oleh Polda NTB tersebut juga dibarengi dengan strategi lanjutan terkait kasus tadi. Dalam conferensi persnya, Dedi selaku Kadiv Humas Polri NTB juga menyampaikan bahwa pihak kepolisian akan menghentikan penyelidikan kasus korban S yang menjadi tersangka dengan mengacu pada pasal 30 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Sehingga keadilan kemudian dapat ditegakkan dan masyarakat mendapatkan jawaban jelas atas keresahannya. Hingga saat ini, sang inisial S telah benar-benar dibebaskan dari kasus tersebut. Keputusan tegas ini merupakan langkah dari kepolisian untuk menunjukkan kredibilitasnya kembali pada masyarakat. Sehingga kecaman yang sebelumnya didapatkan dapat teredam dan citra polisi bisa dinaikkan kembali.

    Dari apa yang dapat kita lihat dari kasus di atas, dapat dikatakan penanaganan manajemen krisis dari pihak humas kepolisian sudah cukup baik. Mereka telah melaksanakan prosedur penanganan krisis dan usaha mengembalikan citra dengan tepat. Namun mungkin ke depannya langkah penanganan krisis ini tidak hanya sampai di sini saja. Namun ada hal lain yang bisa dilakukan untuk lanjut ‘menutupi’ kasus tersebut. Yaitu melaksanakan sebuah program yang bisa menaikkan citra kepolisian kembali terutama kepolisian daerah setempat. Karena tidak dapat dipungkiri, meski suatu krisis telah berhasil diselesaikan pasti masih ada ‘jejak’ buruk yang mengikutinya. Oleh karena itu dalam rangka menaikkan kembali citra dan kepercayaan masyarakat yang ada, akan lebih baik bagi pihak polisi bisa merancang program lanjutan ke depannya. Yaitu contoh kecilnya bisa dengan memberikan bantuan/kompensasi pada korban dari kasus ini sendiri atau bahkan mengadakan program besar lain yang bermanfaat untuk banyak masyarakat atas nama kepolisian.

Komentar

Postingan Populer