FEATURES: Mengais Berkah Dalam Pengabdian. Secercah Kisah Hamzah dan Panggilan Jiwa
Mengais Berkah Dalam Pengabdian.
Secercah Kisah Hamzah dan Panggilan Jiwa
“Asalkan didasari niat yang tulus, insyaallah lelah kita akan diganti dengan yang setimpal di kemudian hari. Apalagi kalau pengabdian dalam sebuah pengajaran. Tidak ada yang lebih baik daripada melihat anak didik kita tumbuh lebih baik dari diri kita sendiri.”
...
Di tengah hiruk-pikuk kota Malang. Sedikit berbeloklah ke kota kecil Singosari. Kota dengan seribu santri. Dapat kau lihat, semangat pengabdian lelaki muda yang masih mengalir deras hingga saat ini. Ia, Muhammad Nur Hamzah. Pagi-pagi buta dipergunakan waktunya untuk mengajarkan huruf hijaiyah. Sedang malamnya habis tuk mengajar bahasa. Namun Hamzah tak mengharap apa-apa. Cukup berkah dari sang guru dan balasan dari sang Rahman sendiri yang mencukupinya.
Hamzah, pemuda berusia 20 tahun ini pada awalnya tak pernah menyangka akan menghabiskan waktunya dalam sebuah pengabdian. Jangankan terpikir untuk mengabdi, pikiran untuk menimba ilmu di pesantren saja tak pernah terbesit baginya dulu. Namun, masa depan memang rahasia langit. Karena ketekunannya yang sudah terlihat sejak dini, meski masih duduk di bangku tsanawiyah, pada tahun 2015, Hamzah diberikan kepercayaan untuk mengemban amanah membantu kepengurusan di pesantrennya, PPQ Nurul Huda. Sejak masih usia belia itulah, hingga lepas lulus madrasah aliyah seperti saat ini, ia tetap berdedikasi meneruskan pengabdian. Hingga detik ini.
Di titik awal masa pengabdian, ia dipercaya untuk mengajar di program pendidikan bahasa Arab pesantren. Selepas letihnya belajar di sekolah pada siang hari, malamnya tak lantas membuatnya berleha-leha. Dari jam 8 sampai 10 malam, ia habiskan waktunya untuk mengajar bahasa Arab kepada para santri di kelas. Hamzah tak kenal lelah dan terus semangat memenuhi panggilan jiwanya ini. Hingga akhirnya, pada tahun 2018, ia bahkan dipercaya menjadi ketua program bahasa pesantren. Pemegang tampuk tertinggi dalam kepengurusan tersebut.
Tak hanya mengajar bahasa Arab, di tahun berikutnya, Hamzah pun diberikan satu amanah kembali. Ia di angkat menjadi guru pengajar (ustadz) untuk mengajar para santri cara mengaji qiroaaty. Dari pagi buta selepas jamaah subuh, pukul setengah lima pagi, tak ada waktu untuk kembali meringkuk dalam buaian selimut. Atau bahkan mempersiapkan diri sendiri untuk pergi ke sekolah. Ia telah tenggelam disibukkan dengan tugas mengajarnya. Bagaimana cara membaca kalimat illahi yang benar dan baik. Semua itu, harus ia ajarkan dengan sabar dan gigih kepada para santri lain yang masih muda. Tak cukup demikian, selain menjalankan tugas mulia mengajar langsung cara membaca Quran, ia juga mengemban tugas sebagai staff tata usaha (TU) di pendidikan madrasah Quran pesantrennya. Setiap hari, membantu mengurus segala kebutuhan administrasi yang dibutuhkan.
Banyaknya tugas yang ia emban tersebut, ternyata juga sempat membuat Hamzah ingin melepas tangan barang sebentar. “Maklum manusia. Terkadang perasaan capek, bosan, dan tidak semangat itu terkadang pernah muncul. Ya, begitulah”. Seperti ketika susahnya ia harus mengatur waktu untuk diri sendiri dan tugas di pesantren yang sering berbenturan. Namun ia tak akan mundur. karena panggilan jiwa ini sedari awal memang dari keinginannya sendiri.
Rasa bahagia yang mengiringi pengabdian telah mengalahkan kesulitan-kesulitan itu sendiri. Seperti momen ketika berkumpul bersama dengan para pengurus lain, itu adalah hal yang sangat menyenangkan bagi Hamzah. Membuat kenangan berharga dalam setiap kegiatan bersama.
Selain itu, saat-saat ketika ia mengajar dan melihat tingkah-laku santri yang beragam, juga menjadi suntikan kebahagian tersendiri baginya. Terlebih lagi, jika ia melihat ada murid yang terkadang keliru dalam pembelajaran, namun semangatnya dalam menimba ilmu tetap luar biasa. Hal seperti itu membawa kebahagiaan tersendiri baginya, sebagai seorang pendidik. Menurut Hamzah, hal penting seperti itulah yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Bukan hanya melihat hasil, namun juga memperhatikan prosesnya.
Tidak hanya itu, perasaan ketika melihat anak yang dididiknya sendiri berhasil dan menggapai prestasi, membuat perasaan senang juga turut bergejolak dalam diri Hamzah. Bahkan mungkin lebih dari anak itu sendiri. “Karena pengabdian ini kan dalam bentuk pengajaran. Bagi seorang guru, tidak ada yang lebih baik daripada melihat anak didik kita tumbuh lebih baik dari diri kita sendiri,” ungkapnya.
Jika diungkapkan, pengabdian ini memang sedari awal adalah suatu tanggung jawab yang berat. Namun, tak pernah terbesit sedikit pun dalam hatinya perasaan menyesal telah mengemban semua tanggung jawab selama ini. Hamzah malah bersyukur. Bisa membagi waktu untuk pengabdian merupakan pengalaman yang begitu luar biasa bagi dirinya. Apalagi dedikasi ini sejak awal diniatkan hanya demi mengharap berkah sang guru, pendiri tempat ia belajar dan menimba ilmu selama ini.
Hamzah percaya, berkah dan ridho guru adalah yang terpenting di atas ilmu yang ia pelajari sendiri. Karena ilmu tidak menjamin keberhasilan. Sedang doa guru, sudah pasti mengantar kita pada kesuksesan. Baik dunia maupun akhirat. Sesuatu yang sangat sulit diraih atau dicari di luar sana.
Untuk Hamzah, pengabdian tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dimanapun dan untuk siapapun itu. Semua sama berharganya. Karena sebuah pengabdian sejatinya bukan hanya untuk orang lain. Namun juga akan membawa balik manfaat pada diri kita sendiri. “Asalkan didasari niat yg tulus, lelah akan diganti dengan ridho Lillah di kemudian hari.” Keyakinan itulah yang selalu ia pegang gigih hingga saat ini.

Komentar
Posting Komentar